Pendidikan Kala Pandemi, Menata Emosi dan Ekspektasi

April 10, 2021



"Jadikan setiap tempat sebagai sekolah dan jadikan setiap orang di rumah sebagai guru"



Mata saya tertumbuk pada suatu ucapan Hari Pendidikan Nasional tahun 2020 lalu, yang saya baca pada sebuah artikel pendidikan. 

Bukan yang pertama kali saya mendengar tentang hal ini, namun rasanya kita perlu melakukan refleksi dengan apa yang sedang terjadi saat-saat ini. Ya, di tahun 2020-2021 ini, wacana tentang pembelajaran dari rumah sangat sering terdengar. Karena pandemi COVID-19 yang terjadi, dunia pendidikan terdampak secara signifikan. Ketika tatap muka guru dan murid adalah keniscayaan, pandemi Covid - 19 menciptakan fenomena baru. Hampir diseluruh penjuru dunia, berlaku yang disebut e-learning alias pembelajaran online.

Demikian juga di Indonesia. Melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pembelajaran jarak jauh atau PJJ mau tidak mau harus dilaksanakan. Semua memiliki tujuan yang sama: menghentikan rantai penyebaran virus COVID-19 di masyarakat. Tentu saja, reaksinya beragam. Tapi yang pasti, ada shock yang terjadi di semua pihak. Baik dari pihak guru, murid maupun juga orang tua murid. Kesenjangan terlihat, karena bagaimanapun belajar di rumah juga membutuhkan perangkat yang memadai dan biaya kuota internet. Bagi mereka yang mampu tentu saja tidak ada kendala yang berarti. Namun, the show must go on, pendidikan harus terus berjalan. 


Tantangan Pendidikan Ada di Semua Lini

Sebuah lembaga amal Save the Children dari Swedia menyuarakan fakta yang mereka dapat. Lembaga yang dikepalai oleh Inger Ashing ini mengutip data UNESCO yang menunjukkan bahwa terdapat 1,6 miliar pelajar di seluruh dunia yang diliburkan dari sekolah karena lockdown. Angka tersebut merupakan sekitar 90% dari seluruh populasi siswa di dunia. 

Mereka juga menginformasikan bahwa ada 9,7 juta anak yang terkena dampak penutupan sekolah beresiko putus sekolah secara permanen. Darurat pendidikan karena pandemi covid-19 ini terasa nyata.

Lalu bagaimana di Indonesia ?

Kondisinya tidak jauh berbeda. Dari pihak sekolah, tentu kepala sekolah dan tim guru harus bekerja cepat untuk menyesuaikan metode online apakah yang tepat untuk digunakan, kurikulum dan tugas apa yang harus disampaikan kepada murid. Namun ternyata, peralihan metode inipun tidak semudah yang dibayangkan. Guru yang belum mahir dituntut untuk mempelajari teknologi untuk mengajar, orang tua yang mungkin harus bekerja di rumah sambil mengajar anaknya yang mungkin juga tidak terlalu paham dengan teknologi. Anak pun merasakan sulit mendapatkan “feel” untuk belajar karena perubahan terjadi secara tiba-tiba. Tekanan dirasakan oleh semua pihak, sehingga akhirnya memaksa semua berpikir dan beradaptasi. Tidak sedikit cerita tentang kejenuhan yang muncul, emosi yang meledak, sederet keluh kesah yang dirasakan oleh segala pihak. Ya, semuanya mengalami denial dan “pemberontakan”.


Pembelajaran online yang berkepanjangan dan belum menemukan titik terangnya ini, memaksa semua orang untuk beradaptasi. Ada yang terus menyesuaikan diri namun di beberapa wilayah mulai menjalankan sekolah tatap muka. Tentu saja dengan berbagai protokol kesehatan. Dari penggunaan masker dan face shield, area mencuci tangan yang ditambah, penyediaan hand sanitizer di ruang kelas, juga penataan meja dan kursi di ruang kelas untuk menjaga social distancing. Ada juga kisah dari pelosok dimana para guru menyiapkan soal, mencetak, lalu mengantarkan materi kerumah-rumah. Ya, karena tidak semua orang mampu belajar online, maka alternatif penyediaan materi juga diusahakan. Saya bisa membayangkan betapa besar usaha yang harus ditempuh oleh para guru. 


Kita bisa memilih untuk bersikap

Pertama, tidak ada yang menyangka dan tidak ada yang menginginkan ini terjadi. Sebagai seorang manusia ciptaan Tuhan, pastilah ada masa-masa kita dipenuhi emosi negatif. Namun, sebagai ciptaan Tuhan yang diciptakan dengan akal, kita bisa mengubah cara berpikir kita untuk menyesuaikan keadaaan. Sebagai orang yang pernah berkecimpung langsung dalam dunia pendidikan anak usia dini, saya menyadari, tatap muka antara guru dan murid sangatlah krusial. Ada proses terciptanya bonding yang sekiranya meningkatkan hubungan emosional yang nyaman. Ketika rasa yang nyaman telah tercapai maka proses menyampaikan pelajaran diharapkan dapat tercapai. Walaupun, tentu saja, tantangan dalam proses tatap muka akan selalu ada. Apalagi dengan pembelajaran jarak jauh yang sekarang ini sedang terjadi. Maka, ketika terus menerus berada di rumah dalam jangka panjang yang cukup lama, saya lalu teringat akan suatu hadits, 


“Mudahkanlah, dan janganlah kamu mempersulit. 

Gembirakanlah dan janganlah kamu membuat mereka lari” 

(HR. Bukhari, Kitab al-ílm no 67).


Tentulah, hadits tersebut menjadi suatu pengingat bagi saya sebagai orang tua, bahwa pendidikan untuk anak usia dini khususnya, hendaknya dibuat dengan menyenangkan dan menyesuaikan dengan situasi. Ketika perubahan terjadi dengan cepat,  perubahan fenomena ternyata ditangkap oleh cepat oleh masyarakat kita. Penyederhanaan kurikulum bagi anak merupakan langkah nyata yang baik untuk dilakukan. Perlahan-lahan menata ekspektasi untuk pendidikan suatu bangsa layak untuk dijalani. Banyaknya alternatif seperti buku online yang dibagi secara gratis, ketrampilan membuat video yang mulai bermunculan ataupun teknik mengajar secara online menjadi suatu tren. Pendidikan untuk anak yang jauh lebih besar tentunya akan lebih kompleks karena mata pelajarannya yang lebih banyak. Namun lagi-lagi sama, semua dipaksa beradaptasi dan jangan lupa untuk juga, menata ekspektasi.

Saya percaya momen pandemi ini adalah sarana untuk menguji ketangguhan yang nyata. Akan perlu banyak lompatan untuk meraih solusi dan keberanian untuk mencoba metode mana yang paling tepat. Memang ada yang kaget, tidak siap, namun percayalah, tidak semuanya buruk. Anak-anak justru mendapatkan kesempatan belajar secara langsung dari orang tuanya, bagaimana menghadapi masalah dan bagaimana memilih untuk berinteraksi dengan teknologi. 

Ketika nanti suatu saat nanti, dunia kembali "normal" dan sekolah mulai dibuka kembali, saya percaya, kita semua telah mendapatkan banyak pelajaran berharga dari pandemi. Belajar bertahan dalam kesulitan dan menambah wawasan dengan memilliki sudut pandang yang baru dalam suatu masalah. 

Mari kita optimis, bahwa dengan mindset positif yang dimiliki tiap-tiap individu, justru banyak yang menemukan ruang bertumbuh yang baru dan seru. Tidak sedikit  pula yang menjadikan waktu ini sebagai sarana untuk mengevaluasi segala hal yang terjadi sebelumnya. Berdiam sejenak, sebelum mulai melangkah kembali.

Hidup sesungguhnya memang tidak akan menjadi semakin mudah, namun semoga kitalah yang bertambah kuat. Insyaallah.

 

Salam,

A.N.Y


 

You Might Also Like

0 komentar