Dari Indonesia ke Singapura, dari Ibu Rumah Tangga Menjadi Guru Agama

Maret 04, 2021

Awalnya, Irma Oktavia adalah seorang  ibu rumah tangga yang hijrah ke Singapura karena mengikuti suaminya. Sama sekali tidak terpikir menjadi guru agama di sebuah negara dengan kaum muslim sebagai minoritas. Ia memulai karirnya menjadi seorang guru agama di Singapura dari nol. Bagaimana ia mengawali karirnya dapat Anda ikuti dalam tulisan berikut ini. Saat ini, dia tengah menyelesaikan pendidikan tentang Al-Qurán dan Sunnah-nya di Institut Al-Zuhri Singapura.


Ibu Rumah Tangga Menjadi Guru Agama di Singapura

 

Sekilas Tentang Irma Oktavia


Wanita kelahiran tanggal 13 Oktober ini adalah salah satu guru mengaji saya di Singapura. Sudah hampir enam tahun ini beliau menjadi pembimbing utama grup tahsin kami yaitu Tahsin North Singapura, dalam lingkaran IMAS (Indonesian Muslim Association in Singapore). Dan karena lumayan sering berinteraksi, rasa ingin tahu saya terusik. Tentang bagaimana akhirnya beliau mengejar ilmu, dan membaginya kepada kami semua.
Cikgu Irma, demikianlah kami menyapanya. Berilmu, murah senyum dan suka bercerita adalah kesan pertama saya ketika mengenalnya. “Cikgu” dalam bahasa Melayu artinya adalah guru, dan karena bahasa Melayu adalah salah satu bahasa ibu yang dikenalkan di Singapura, maka kami pun menyematkan kata “Cikgu” ketika memanggilnya.


Beliau lahir dan besar di Bandung sampai lulus kuliah dan menikah. Setelah itu, Cikgu Irma diboyong oleh suaminya untuk tinggal di Surabaya. Selama 11 tahun lamanya beliau tinggal di kota Pahlawan tersebut. Kegiatan sehari-harinya ketika itu adalah fokus mengurus keluarganya, menjadi ibu dari kedua anak laki-lakinya yang masih kecil-kecil. Rupanya beliau juga memiliki ketertarikan di bidang memasak. Lengkap sudah rumahnya penuh dengan masakan-masakan istimewa buatannya.

 Hijrah ke Singapura

Pada tahun 2007, ternyata suaminya mendapatkan pekerjaan di Singapura, dan hijrahlah mereka ke negeri dengan sejuta denda ini. Qadarullah, beliau juga hamil anak ke-3 ,sehingga sempat pulang ke Bandung sampai melahirkan. Baru setelah bayinya berusia 6 bulan, Cikgu Irma menyusul mengikuti suaminya dan berkumpul bersama.

Awal mulanya, beliau tidak memiliki rencana untuk menjadi guru agama. Sama seperti yang dilakukan sebagian ibu-ibu muslim Indonesia di Singapura ini, berkumpul menjalin silaturahmi dengan ibu-ibu lain sesama perantau Indonesia adalah hal yang umum dilakukan. Bentuknya bisa bermacam-macam. Salah satunya bergabung dalam grup pengajian tahsin; sebuah grup untuk memperbaiki bacaan Qurán.

Ketika mulai bergabung dalam grup pengajian ini, beliau tidak menyia-nyiakan waktu yang dimilikinya. Pemilik latar belakang Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi ini membawa anak kecilnya yang belum bersekolah kemana-mana, dan memutuskan untuk belajar agama. Salah satu pembimbingnya di grup tahsin tersebut, menawarkan Cikgu Irma untuk mendalami bacaan Qurán lebih serius. Tentu saja, hidup di rantau identik dengan tidak ada keluarga dekat dan tidak semua orang memutuskan memakai ART.

Sehingga, hari demi hari ketika menuntut ilmu dijalani dengan penuh kesabaran. Baginya, salah satu kunci menjalankan ini semua hingga kini adalah kerjasama dengan suami dan anak-anak. Ya, dukungan suami dari aktivitas sehari-sehari Cikgu Irma terlihat nyata.

QTRS atau Qurán Teachers Recognition Scheme adalah sijil pertama yang beliau ambil. Oya sijil, dalam bahasa Melayu artinya adalah sertifikat. Diakuinya ketika mengambil kursus ini, beliau bermodal nekat dan pas-pasan sebenarnya. Namun, beliau tetap berusaha untuk menyelesaikan dengan sebaik-baiknya. Lambat laun, kecintaan dan keseriusannya terbentuk. Berawal dari situlah Cikgu Irma mulai mendapatkan murid yang ingin belajar membaca Al-Qurán. Bermula dari anak-anak teman sendiri, maupun tetangga.

Lambat laun, beliau berpikir dan mendapatkan pencerahan, bahwa ketika mengajar membaca Al-Qurán hendaknya juga memahami apa yang diajarkan. Secara mandiri, beliau mencari tambahan kursus-kursus pendukung seperti Tajwid, Ulumul Qurán, juga ber-Talaqi.

Akhir pekan dihabiskan untuk mengambil tambahan ilmu dan suami bergantian menjaga anak-anak. Tidak jarang, ketika hari-hari suaminya bekerja, anaknya yang pertama dan sudah agak besar ditinggal di rumah untuk menjaga adik-adiknya. Tentu saja dengan waktu yang terukur dan tidak terlalu lama.

Cikgu Irma bercerita, beliau memang pernah bercita-cita menjadi guru ketika kecil. Namun sempat terkubur karena ia mungkin mengikuti keinginannya ayahnya menjadi seorang ekonom. Belum sempat berkarir di bidang perbankan, nyatanya sekarang karir menjadi seorang guru agama terbuka lebar.

Setelah beliau mengambil QTRS, dia bertekad untuk meng - upgrade dirinya menjadi seorang guru agama yang mumpuni. SDQT atau Specialist Diploma for Qurán Teachers di Institusi Masjid Kampung Siglap Singapura adalah sekolah selanjutnya yang ia jalani. Setelah menyelesaikannya selama 2 tahun secara paruh waktu, beliau juga lalu mengambil DPQS yaitu Diploma Pengajian Al-Qurán dan Sunnah di Institusi Al-Zuhri Singapura sampai sekarang.

Waktu beliau untuk belajar ditekuninya dengan serius dan ini diluar jadwal mengajar dan kuliah Hadist yang dijalaninya secara online. Ya, beliau juga masih mengajar beberapa kelompok pengajian di Singapura, termasuk grup yang saya ikuti juga. Tidak hanya itu, di akhir pekan, terkadang beliau juga menjalani Talaqi dengan ustad untuk bacaan riwayat yang belum ia kuasai.

Jauh sebelum pandemi dan kebanyakan kuliah online berlangsung seperti sekarang, Cikgu Irma sudah biasa naik kendaraan umum dari satu aktivitas ke aktivitas berikutnya. Dari kelas tempat ia belajar juga ke tempat ia mengajar. Dan tentu terbayangkan buku-buku agama maupun kitab yang harus dibawa kemana-mana. Semuanya demi meraih ilmu. 

MasyaAllah.

Oya, ini adalah kesaksian pribadi dan sukses membuat saya takjub. Bahwa selain menjadi murid dan guru panutan, terkadang Cikgu Irma juga menerima pesanan makanan; seperti set nasi kuning dan set nasi liwet. Hal yang jarang saya temui. Tidak hanya mengaji, belajar, dan membaca Qurán, namun juga mengerjakan hobi yang menghasilkan uang. Bagi saya pribadi, mengerjakan hal-hal seperti yang saya sebutkan di atas adalah istimewa. 



Inspirasi dan Harapan

Saya pernah bertanya, apa yang membuat Cikgu Irma tetap begitu bersemangat untuk terus belajar dan mengajarkan Al- Qurán, meskipun jadwalnya luar biasa padat.


Wanita berusia kepala empat ini memiliki cita-cita untuk mendirikan sebuah sekolah yang khusus belajar tentang Al-Qurán dan Sunnah, mencetak penghafal Qurán dan mendalami ilmu Qiraát di Indonesia. Karena dengan adanya pemahaman terhadap 10 ilmu Qiraát yang ada, maka diharapkan wawasan para pembelajar dan penghafal Qurán bertambah luas. Pembaca Qurán dapat memahami perbedaan cara membaca Qurán yang ada di dunia ini.


Bagi ibu beranak tiga jagoan ini, inspirasi belajar berasal dari kedua orang tuanya. Ketika kecil, orang tua Cikgu Irma menempatkan pendidikan agama sebagai prioritas. Jarang sekali penyuka bakso ini ditanya tentang pelajaran di sekolah yang sifatnya akademis. Akan tetapi, yang ditanya selalu apakah sudah sholat belum atau mengaji-nya bagaimana. Memanggil guru ke rumah sebagai tambahan tentang ilmu agama juga dilakoninya. Hal ini membekas dalam dirinya sehingga ketika Cikgu Irma menjadi ibu untuk pertama kalinya, beliau semakin sadar bahwa memang pendidikan agama sangatlah dibutuhkan. Terutama pendidikan aqidah dari rumah dan mengenal alam sekitar untuk memperkuat aqidah.

Cita-citanya membimbing anaknya menjadi generasi yang cerdas dalam bidang agama diperkuat dengan memasukkan anak-anaknya ke sekolah berbasis agama Islam, selain tentu saja menghadirkan rumah sebagai madrasah utama.

Suami adalah partner in life. Bagi Cikgu Irma, peranan suami sangat penting. Meskipun bukan lulusan sekolah agama, suami Cikgu Irma dan dirinya memiliki tujuan yang sama. Mereka berdua percaya, bahwa salah satu modal penting bagi anak-anak mereka dalam kehidupan adalah ilmu agama. Sehingga mereka sepakat dalam urusan ini. Ini jugalah yang membuat Cikgu Irma semakin termotivasi untuk mendalami Qurán.

Cikgu Irma tidak pernah bosan mengingatkan, bahwa untuk ibu-ibu yang masih memiliki anak kecil-kecil, jangan pernah lupa dan kendor untuk menambah perbekalan di bidang agama. Karena, tugas Ibulah untuk memberikan pendidikan yang utama, meskipun juga ayah harus memberikan porsinya. Semakin baik agama ibunya, maka keinginan ibu untuk mendidik anak-anaknya akan lebih baik lagi.

Kesabaran dan toleransi Cikgu Irma kepada kami yang juga terpontang-panting ingin belajar agama namun juga harus berkejaran dengan urusan menjemput anak dan lain-lain, sangat saya syukuri. Hanya Allah-lah yang membalas segala kebaikan beliau.

 
Anak-anak adalah harta yang berharga. Setiap apa yang kita keluarkan untuk pendidikan anak-anak kita hendaknya senantiasa mendekatkan anak pada Allah SWT. Cikgu Irma memberikan motivasinya untuk semua wanita yang sedang meraih cita-cita.


Belajarlah agama lebih baik, sebab dengan bekal agama yang baik, kita akan mencetak generasi yang khair pula. Pendidikan dunia tidak akan ada artinya jika tidak dibarengi dengan pendidikan aqidah dan ahlak yang baik.


Ketika menuliskan ini semua, saya seperti kembali mendapatkan pengingat.
Bahwa ketika mulai lelah mendidik anak, jangan sampai lengah dan menyerah. Ingatlah ketika mengerjakan suatu kebaikan, maka kebaikan lain sedang menunggu.
Dan yang paling penting, semoga kita masih akan terus saling mendoákan dan mengingatkan dalam kebaikan ya Cikgu Irma.


Terima kasih untuk segala helai inspirasinya, Cikgu Irma!

 

You Might Also Like

0 komentar