Belajar Membaca Untuk Anak, Mulai Dari Mana, Ya? (Bagian 1)

April 19, 2021

Belajar Membaca Untuk Anak, Mulai Dari Mana?


Halo teman-teman, kembali lagi disini. 

Kali ini saya ingin bercerita tentang awal perkenalan saya dengan pendidikan anak usia dini. Semua berawal dari saat kuliah. Ya, ketika itu belum menikah dan punya anak. Namun kala itu di tahun terakhir perkuliahan Psikologi, saya mengambil skripsi tentang pendidikan anak usia dini. Sebenarnya, waktu itu sama sekali tidak terbayang apa dan bagaimana pentingnya pendidikan ini. Namun, ketertarikan saya muncul ketika mengambil mata kuliah Psikologi Perkembangan. Saya hanya berpikir ketika masuk mata kuliah ini, kita sedang mempelajari diri sendiri. Dan ternyata menarik sekali, sekaligus kagum. Luar biasa ya ciptaan Allah ini. Sangat kompleks dan banyak rahasia. 

Di mata kuliah ini pun dibagi menjadi berbagai tahap. Anak-anak, remaja, dewasa, usia lanjut. Dan ternyata ketika skripsi kami harus fokus pada satu tahapan perkembangan saja. Dan saya memilih anak usia dini, karena saya berpikir mungkin kelak akan berguna ketika memiliki anak sendiri. Saya ingin memulainya dari tahapan awal seorang anak manusia. Begitu pikir saya.

Lalu, perjalanan berlanjut. Ketika saya hijrah ke Singapura, saya mendapatkan kesempatan lagi mendalami pendidikan usia dini ini. Sekaligus praktek ke anak-anak murid. Luar biasa ya, jadi guru TK itu. Sesungguhnya, berat lo, menyesuaikan cara pembelajaran dengan berbagai macam karakter dan latar belakang si anak. Energi yang dibutuhkan luar biasa.

Saya sadar benar, cara saya menghadapi anak-anak pun berubah seiring berjalannya waktu. Semuanya, bertumbuh. 

Apalagi menghadapi anak sendiri. Jungkir balik pasti ada. Hihihi. 

Lagi-lagi, dalam urusan pendidikan anak usia dini yang saya pelajari, bercabang-cabang juga yang dibahas. Oya, karena ini lebih mengenai kurikulum yang umum, maka yang dipelajari tentu juga yang umum-umum. Seperti filosofi, perkembangan anak, literasi, numerasi, sosial dan emosi, juga menyiapkan lingkungan sekolah yang sesuai untuk anak-anak. 

Yang saya rasakan, ketika belajar di kelas, kadang tidak semua sama ketika di lapangan. Atau, yang saya rencanakan, sangat bisa lain dengan kenyataannya. Terkadang saya yang memang kurang siap, kadang juga karena anak-anak yang kadang memberikan respon yang tidak terduga. Terkadang hari itu berhasil, namun hari berikutnya belum tentu. Itulah mengapa, pengalaman dan melakukan refleksi juga penting. 

Nah, sebenarnya yang ingin saya bagi, adalah cerita setelah ini. Hihihi.. panjang sekali ya pembukaannya. Maka, sesuai judul di atas, cerita ini adalah perjalanan saya membersamai anak-anak saya untuk urusan belajar membaca. Tentu saja, karena tiap anak berbeda, maka tentu ceritanya tidak akan sama dengan setiap orang.


SEMUA BERAWAL DI SINGAPURA

Awalnya, ketika memiliki murid di Singapura untuk pertama kalinya, saya langsung bertemu dengan anak usia 6 tahun yang sudah pandai membaca dan menulis. Saya ter-wow-wow. Jadi, saya memang tidak melalui fase bagaimana mengajarkan anak membaca, karena rata-rata sudah bisa membaca. Seandainya ada yang belum bisa, hanya 1 - 2 , itupun karena belum lancar saja. 

Begitu tahun berikutnya, saya memegang kelas anak-anak berumur 5 tahun. Meskipun belum lihai membaca, namun rata-rata sudah mulai pandai menulis huruf dan mengenali sight words; kata-kata yang sering digunakan dalam bacaan. Waktu itu, walaupun saya menjadi tenaga pengajar di sekolah Montessori, ternyata pemahaman saya belum dalam. Maklum yang diajar langsung anak berbahasa English, bahasa yang mereka kenal dari lahir. Dan lagi-lagi, saya sudah mendapatkan anak-anak yang sudah bisa membaca dan menguasai huruf. Jadi saya tidak mengajarkan dari awal. Lagi-lagi, walau tahu teorinya, ketika praktek, ada juga masa bertanya-tanya, mulainya dari mana ya? 

Akhirnya saya mulai tertarik, dan bertanya, bagaimana sebenarnya mengajarkan anak membaca? Apa iya, ada metode khusus? Di Singapura ini, kursus-kursus atau les belajar membaca dan menulis sudah umum dijumpai. Banyak. Memang seperti itu kenyataannya. 


" Namun, hati kecil saya bertanya, apa iya nanti kalau saya punya anak harus les juga? Apa sebenarnya yang diajarkan di tempat-tempat les tersebut? Bagaimana ya sebenarnya proses anak mulai bisa membaca?"


Lalu, muncullah kesempatan di tahun berikutnya. Saya diberi kesempatan memegang anak berusia 3 tahun. Disinilah mulai terlihat kesempatan itu. Ada anak yang sudah mulai mengenali huruf A - Z namun ada juga yang sama sekali belum mengenalinya. Setelah dilihat latar belakangnya, ada yang orang tuanya memang sudah mengenalkan lagu-lagu phonics (bunyi huruf) sejak umur 2 tahun. Ada yang orang tuanya rajin membacakan buku dan mengenalkan huruf. Ada yang orang tuanya merasa, anaknya belum siap untuk berkenalan dengan huruf-huruf. Maka nanti-nanti saja, biarkan mereka bermain sesuka hati. Ada yang berbicara saja, belum jelas. 


Sedikit tentang Montessori. 

Lingkungan belajar di Montessori, sangat tertata. Ia rapih, terstruktur, dari sederhana ke kompleks, dan sangat halus pendekatannya untuk anak. Ketika anak masuk ke sekolah dengan lingkungan berfilosofi Montessori, rasanya seperti pindah rumah saja, bukan masuk ke sebuah sekolah. Rak-rak yang digunakan utamanya adalah kayu, sama seperti masuk rumah umumnya. Dan ada beberapa area, material-material yang digunakan sama seperti di dapur rumah masing-masing. 

Secara umum, area Montessori ada Practical Life, Sensorial, Language, Numeracy, dan Cultural Studies. Semua tertata, memilik tempatnya, kurikukulum terencana dan memiliki tujuan pembelajarannya masing-masing.

Tentu saja disini yang saya fokuskan adalah area Language atau Bahasa. Kalau melihat kurikulumnya, materi pertama yang dikenalkan adalah Sand Paper Letter dari A-Z (diutamakan huruf kecil). Mengapa sand paper? Karena memang material yang digunakan adalah terbuat dari sand paper. Disitulah anak-anak sebenarnya, mulai dikenalkan pada huruf. 


Tentu tidak ada yang benar atau salah ya, karena semua kembali ke orang tuanya masing-masing. Namun, sampai saat ini saya termasuk yang percaya, kalau memang anaknya tertarik, sah-sah saja dikenalkan dengan huruf. Karena menahan anak melakukan sesuatu yang disukainya, biasanya ada masalah baru. Tentu saja sepanjang kita tahu itu baik untuk anaknya.

Kalau anaknya belum mau, ya dikondisikan dengan cara yang nyaman dan adem ayem juga tidak ada salahnya. Biarkan proses transisi mengenalkan sesuatu yang baru berjalan alami. Evaluasi dan refleksi, harus selalu berjalan.

Harusnya begitu ya. Lagi-lagi tidak semua seindah keinginan kita.

Ketika akhirnya mulai menjadi ibu, tidak sedikit kulwhap ataupun diskusi yang saya ikuti tentang bagaimana cara mengajarkan anak membaca sejak dini. Ya, ada yang mulus-mulus saja alias berhasil, ada juga yang justru sebaliknya. Ajang mengajar anak membaca menjadi momen naik darah kedua belah pihak, ya orang tua, ya anaknya. Lalu, akibatnya berkepanjangan. Anak merasa tidak happy, ibu frustrasi, dan hubungan jadi tidak enak. 

Ada suatu sharing dari narasumber yang saya ingat. Beliau adalah seorang pendidik anak usia dini di Bandung. 


"Terkadang, saya bingung menghadapi orang tua datang, yang anaknya berusia 5 - 6 tahun. Ibunya datang, meminta anaknya langsung diajari membaca, menulis pegang pensil, padahal terlihat sekali anaknya masih kagok pegang pensil. Anaknya banyak diam, dan ibunya terlihat tegang. Usut punya usut, anaknya tidak pernah dikenalkan huruf sebelumnya, apalagi dibacakan cerita. Lalu datang dan konsultasi ke saya, apa yang salah dengan anak saya, tanya ibunya?"


Hmmm..... tentu waktu itu, anak pertama saya masih bayi. Saya belum memasuki periode menyuruh anak belajar membaca ya. Namun karena berbagai diskusi dan fenomena yang terjadi seputar baca tulis anak usia dini, ada hal-hal yang saya ingat saya lakukan setelah itu. Sebelum bertambah usia, dan menjadi lupa, lebih baik saya tuliskan dulu ya. Siapa tahu, ada yang bisa mendapatkan manfaatnya.


(BERLANJUT KE PART 2)









You Might Also Like

0 komentar